Candi Barabudhur
Sampai saat ini belum ada
kesepakatan di antara para pakar tentang nama Barabudhur.
Dalam Kitab Negarakertagama (1365 M.) disebut-sebut tentang
Budur, sebuah bangunan suci Buddha aliran Vajradhara.
Menurut Casparis dalam Prasasti Sri Kahulunan (842 M)
dinyatakan tentang “Kawulan i Bhumi Sambhara”. Berdasarkan hal itu
ia berpendapat bahwa Barabudhur merupakan tempat pemujaan. Bumi
Shambara adalah nama tempat di Barabudhur. Menurut
Poerbatjaraka, Barabudhur berarti Biara Budur, sedangkan
menurut Raffles, 'bara' berarti besar dan 'budhur'
merupakan kata dalam bahasa Jawa yang berarti Buddha.
Berdasarkan
tulisan yang terdapat di beberapa batu di Candi
Barabudhur, para ahli berpendapat bahwa candi ini mulai dibangun
sekitar tahun 780 M, pada masa pemerintahan raja-raja Wangsa
Sanjaya. Pembangunannya memakan waktu berpuluh-puluh tahun dan
baru selesai sekitar tahun 830 M, yaitu pada masa
pemerintahan Raja Samaratungga dari Wangsa Syailendra.
Konon arsitek candi yang maha besar ini bernama Gunadharma,
namun belum didapatkan informasi tertulis tentang tokoh
ini. Pada tahun 950 M, Candi Barabudhur terkubur oleh lava
letusan G. Merapi dan baru ditemukan kembali hampir seribu
tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1814. Penemuan kembali
Candi Barabudhur adalah atas jasa Sir Thomas Stamford
Raffles.
Pada saat Raffles berkunjung ke Semarang, ia
mendapatkan informasi bahwa di daerah Kedu ditemukan
tumpukan batu bergambar. Konon pada tahun 1814, serombongan
orang mendatangi suatu daerah di Karesidenan Kedu untuk
mencari tahu lebih jauh tentang legenda yang berkaitan
dengan sebuah bukit dekat Desa Boro. Setelah membabat semak
belukar dan menggali serta membersihkan gundukan abu gunung
berapi, mereka menemukan sejumlah besar bongkahan batu berpahatkan
gambar-gambar aneh. Raffles kemudian memerintahkan Cornelius,
seorang Belanda, untuk membersihkan batu-batu tersebut.
Pembersihan tumpukan batu dan lingkungan di sekitarnya
kemudian dilanjutkan oleh Residen Kedu yang bernama
Hartman.Jumlah Arca Buddha, termasuk yang telah rusak, mencapai 504 buah. Arca-arca Buddha tersebut menggambarkan Buddha dalam berbagai sikap.
- Arca-arca di sisi timur menggambarkan Dhyani Buddha Aksobhya, yaitu Buddha bersila dengan sikap tangan menyinggung tanah atau sikap Bhumiparsyamudra.
- Arca-arca di sisi selatan menggambarkan Dhyani Buddha Ratnasambhawa, yaitu Buddha bersila dengan sikap tangan memberi anugrah atau sikap Varamudra.
- Arca-arca di sisi barat menggambarkan Dhyani Buddha Amitabha, yaitu Buddha bersila dengan sikap tangan bersemadi sikap Dhyanamudra.
- Arca-arca di sisi utara menggambarkan Dhyani Buddha Amogasidhi, yaitu Buddha bersila dengan sikap tangan menentramkam atau sikap Abhayamudra.
- Arca-arca di puncak menggambarkan Dhyani Buddha Vairosyana, yaitu Buddha bersila dengan sikap tangan mengajar (ibu jari dan telunjuk bersentuhan dan ketiga jari lain terangkat) atau sikap Vitarkamudra.
- Arca-arca di undakan lingkaran menggambarkan Dhyani Buddha Vairosyana, yaitu Buddha bersila dengan sikap tangan mewejangkan ajaran atau sikap Dharmacakramudra.
Di beberapa tempat terdapat saluran pembuangan air yang disebut Jaladwara. Dinding atas tingkat I dihiasi dengan relief cerita yang diambil dari Kitab Lalitawistara, yang mengisahkan riwayat Sang Buddha sejak turun dari surga Tusita ke bumi, saat menerima wejangan di Taman Rusa dekat Benares, sampai pada saat mencapai kesempurnaan.
Candi Barabudhur telah mengalami beberapa kali pemugaran. Pemugaran pertama dilakukan pada masa pemerintahan Belanda, yaitu pada tahun 1907 – 191, di bawah pimpinan Van Erp. Dalam pemugaran ini yang diutamakan adalah mengembalikan ketiga teras atap candi dan stupa pusatnya. Pemugaran kedua berlangsung selama sepuluh tahun, yaitu tahun 1973 – 1983. Dalam pemugaran ini Candi Barabudhur dibongkar, fondasi dan dindingnya diberi penguat beton bertulang, dan batu-batunya diteliti, dibersihkan, diberi pengawet kedap air dan disusun kembali sesuai susunannya semula.